Senin, 10 Maret 2014

Cinta Yang Ku Pilih


“Salahkah jika kata cinta ini ku ucap sekarang? Sudahkah ini dikatakan terlambat? Aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri”
Mulutmu kembali melemaskan tubuhku setelah 5 tahun lamanya engkau membungkam mantra dasyat itu.
“Mengapa baru sekarang kau ucap mantra itu? kemana saja kau selama ini? aku menantimu hingga rambutku memutih” isaku pelan.
“Maafkan aku”
Wajahmu tertunduk tanda penyesalan. Kau memegang lenganku dan menarik tubuhku ke dalam peluk hangatmu. Aku tak bisa menolak lagi. Kerinduan yang mulai mengering kini tersiram dengan sejuknya peluk mesra darimu. Tak henti-hentinya kau ucap kata sayang, rindu dan cinta di telingaku dengan mesra.
“Kenapa kau terdiam? Sudah hilang kah rasa cintamu padaku?” katamu dengan mata yang tak henti-hentinya memandang ku.
Aku terdiam. Rasa yang dulu tak mungkin bersemi kembali. Rasa yang tak seharusnya kurasakan. Rasa yang menyalahi aturan kini pudar seiring dengan berjalannya sang malam.
Semua berawal dari ketidak sengajaan. Saat itu aku sedang menempuh kuliah di salah satu Universitas di Malang Jurusang Seni. Karena sebuah tugas yang sangat berat aku meminta tolong teman untuk membantu menyelesaikannya.
“Memahat bukanlah bidangku, kalau kau mau aku bisa kenalkan kau dengan teman ku di kampus sebelah” kata kak Iqbal seniorku.
“Baiklah asalkan tugas akhir ini kelar apapun akan ku lakukan” jawabku lantang.
Esoknya kak Iqbal membawaku ke sebuah perumahan elit di kawasan Tidar yang tak lain adalah rumahmu. Ada sedikit keraguan menyelinap dalam diri. Mungkinkah orang kaya seperti mu mau membantu mahasiswa lusuh seperti ku ini? Berapa harga untuk sebuah pahatan pantung? Mana mungkin aku sanggup untuk membayarnya? Namun keraguan-keraguan itu segera aku hapus agar tugas akhir semester ku kelar dengan perfect. Dan tak ku sangka kau langsung mengiyakan permintaan tolong ku.
“Mau dipakai kapan? Besok kah atau lusa” katamu dengan memandangi seluruh tubuhku.
“Kalau bisa minggu ini jadi mbak” jawabku berusaha santai walau sebenarnya risih.
Dari sini kita sering diskusi seputar seni dan dunianya walau sejatinya aku risih berdekatan terus-terusan dengan orang seperti mu. Bukan apa-apa, tapi matamu membuatku semakin tak nyaman berada di sampingmu terus-terusan.
Paska jumpa pertama esoknya tiba-tiba kau mengajakku keluar menonton pameran seni di gedung serba guna Wali Kota tapi ku tolak karena tugas kuliahku yang tak kunjung kelar. Kau mengamuk dan menyumpah serapahkan aku.
“Kamu ini tak tahu terimakasih, ku bela-belain 24 jam waktuku ku berikan untukmu tapi apa balasanmu? menemaniku sejam saja kau enggan” katamu dalam sms.
Sebenarnya aku ingin tetap pada pendirianku namun sms mu yang ke dua membuat ku serba salah. Akhirnya dengan berat hati kuiyakan saja ajakanmu. Mendengar kabar keiaanku kau sumriangah.
Keesokan harinya kau kembali membuat kepalaku pecah. Kau memaksaku menemanimu memahat, jalan-jalan ke mall dengan teman-temanmu yang gak jelas dan clubing. Padahal kau tau esok aku UAS tiga matakuliah. Hampir setiap hari kau perlakukan aku seperti babumu. Awalnya memang berontak dan aku anggap seperti balas budi baik mu namun semakin lama aku semakin terbiasa bahkan nyaman dengan sikap dan tingkah mu kepada ku.
Witing trisno jalaran saka kulina. Sepertinya kau tahu bahwa aku telah mengagumimu. Namun sifatmu tak menandakan kau menangkap sinyal-sinyal yang telah ku berikan. Namun itu tak menyurutkanku untuk tetap menyebarkan sinyal-sinyal suka ku padamu.
Seminggu lagi kau hendak menempuh SEMPROP (Seminar Proposal). Kau memintaku untuk sejenak menjauh dari kehidupanmu karena kau ingin berkonsentari penuh pada kuliahmu. Aku pun mengiyakan hal itu. sejak itulah hubungan mu dengan aku mulai meregang. Kau seperti tak memperdulikanku lagi. Berhari-hari kau tak membalas SMS dariku. Bahkan tak satu pun SMS kau layangkan kepadaku. Pikiranku kacau. Aku jatuh sakit dan kau tak mengetahuinya.
“Aku lulus sayang, terimaksih atas dukungannya selama ini”
SMS darimu menyembuhkan sakit ku. Kau menemuiku dengan muka yang sangat bahagia dan hari itu aku anggap kita jadian meskipun tak ada sepatah kata cinta pun yang terucap dari masing-masing bibir.
Sejak saat itulah kita semakin dekat dan dekat sedekat kelulusanmu dari tempat mu mengadu ilmu. 9 September 2009 kau resmi menjadi sarjanawati. Awalnya aku ingin hadir di hari bahagiamu itu namun nyatanya ku tak bisa. Kesibukan organanisasi yang harus membawaku pergi mewakili teater universitasku pentas di Balai Kota. SMS darimu menghujani handphone ku. Kau marah dan sangat marah. Aku kalang kabut. Ku coba untuk menjelaskan sejelas-jelasnya posisiku saat itu. Namun kau tak mau menggubrisnya. Dan kehampaan menyelinap di kehidupanku.
“Tau kah kau apa yang ku lakukan saat itu?”
Dia menggelengkan kepalanya dengan mata tetap lurus memandangku.
“Aku hampir membelah nadiku”
Ada butiran bening yang menetes di pipinya. Berkali-kali ia mengucap maaf di hadapanku.
Bertahun-tahun aku menanti kehadiranmu. Namun penantian itu justru semakin menyanyat hatiku. Lima tahun berlalu bayangan mu mulai memudar tergantikan dengan bayangan lain. Dan cinta yang hilang oleh mu, kini telah tergantikan dengan sosok lain. Sosok yang telah menyembuhkan luka dari cintamu. Sosok yang telah aku pilih menjadi tambatan hatiku. Dan pekan depan aku akan melangsungkan pernikahan denganya. Bukan dengan mu.
“Mengapa secepat ini kau rela melepasku? masih kurang kah rasa cinta ini untuk mu?”
“Cepat kau bilang? 5 tahun aku menantimu tapi tak satu pun kabar kau layangkan padaku, apa itu dikatakan cepat?”
Suasana hening. Hanya bunyi jangkrik dan katak yang saling beradu.
“Telah lama aku mencari keberadaan mu dan kini aku telah menemukanmu, tak sudi kah kau menyampaikan salam perpisahan untuk ku?”
Pelan aku memegang tangannya. Ku tatap tajam kedua matanya.
“Aku mencintaimu”
Aku masih tak bersuara. Melihat kediamanku, ia langsung memelukku erat. Pelukan itu terasa hangat. ketenangan mulai kurasakan. Dan segera aku membalas peluk hangat darinya. Semakin lama pelukan itu semakin hangat. Mungkin dia tahu inilah pelukan terakhir yang ku persembahkan kepadanya.
Entah setan mana yang merasuki jiwa ku hingga akhirnya aku kembali ke cinta yang salah. Namun apa daya aku tak bisa memutus begitu saja karena itu akan semakin menyakiti hati kami berdua. Samar-samar aku dengar erangannya pelan. Aku yakin sebentar lagi ia akan sampai pada puncaknya. Kami mulai lemas. Ia rebahkan tubuhnya dalam dekapan ku.
“Pulaskah tidurmu semalam?”
Dia tersenyum tanda terimakasih untuk ku.
“Lekaslah mandi, sebentar lagi calon suamiku akan datang, aku ingin kau menjadi pendamping di lamaranku kali ini”
Ku tinggalkan ia dengan sehelai handuk.
Terima kasih atas salam perpisahan dan kado terindah semalam. Maaf aku tak bisa menjadi pendamping di lamaranmu aku tak kuat melihat kau bersanding dengan seorang pria. Semoga kau bahagia dengannya. Aku janji aku tak akan hadir di kehidupanmu lagi. Sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu.
Aku hanya tersenyum membaca secarik kertas yang kau tingalkan di meja riasku. Tanpa pikir panjang aku langsung menemui calon suamiku.
Cerpen Karangan: Dyla Aerchy
Facebook: Dyla Aerchy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar